Bagaimana Merawat Kemabruran Haji? (4) Memelihara Rasa Tawakkal –
5 min readTawakkal berarti penyerahan diri secara total semua urusan hanya kepada Allah SWT. Tawakkal adalah realisasi keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Pengertian ini sesuai dengan Q.S. al-Ma’idah/5:23: “Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman”.
Suatu ketika Rasulullah SAW menerima beberapa tamu dari luar kota di Madinah. Salah seorang di antara tamunya ditanya, dimana kamu menambatkan untamu?
Sang pemuda menjawab, saya tidak menambatkannya karena saya sudah bertawakkal kepada Allah SWT. Lalu ia memohon Rasulullah SAW mendoakan agar untanya aman. Rasulullah SAW menegur pemuda itu dengan mengatakan, tambatkan dulu untanya, baru bertawakkal kepada Allah SWT.
Tawakkal tidak bisa diartikan kepasrahan secara passif, yang menyiratkan unsur kemalasan, keputusasaan, dan sikap minimalisme, tetapi kepasrahan secara aktif, sesuai kapasitas manusia sebagai hamba dan khalifah yang menuntut tanggung jawab.
Tidak bisa berdiam diri dengan pasif saat kita didera penyakit, tetapi kita harus berusaha mencari cara penyembuhan, sebagaimana diperintahkan Rasulullah SAW: “Berobatlah wahai hamba Allah, karena Allah menciptakan penyakit dan obatnya.” (HR al-Tirmidzi).
Jika kita sudah berobat dengan berbagai macam cara tetapi penyakitnya tetap berlangsung, baru kita tawakkal dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Sang Maha Penyembuh. Bersabar dari penyakit merupakan suatu hal yang terpuji, bahkan akan berfungsi sebagai pengampunan dosa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Demam satu hari menghapus dosa satu tahun.” (HR. Al-Qudha’i dari Ibnu Mas’ud).
Tawakkal disertai keikhlasan akan memberikan banyak keajaiban dalam hidup. Rasulullah SAW memberikan perumpamaan kehidupan orang-orang yang bertawakkal dengan kehidupan burung:
“Jikalau kamu bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang sesunguhnya, niscaya Allah memberi rezeki kepadamu, sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung yang keluar (dari sarangnya) pagi-pagi dengan perut lapar dan kembali pada sore hari dengan perut kenyang. Dan lenyaplah gunung-gunung penghalang dengan sebab do’amu”. (HR. Muhammad bin Nashar dari Muadz bin Jabal dan oleh Baihaqi dari Wuhaib al-Makki).
Dalam sebuah ayat juga menegaskan rezki bagi setiap makhluk hidup sudah ditentukan oleh Allah SWT dalam Q.S. Hud/: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud/11:6).
Tawakkal merupakan proses terakhir dalam sebuah rangkaian usaha manusia, sesuai dengan Q.S. Ali ‘Imran/3:159: “…maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun kepada mereka, dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad (ta’zim) maka bertawakkal-lah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertawakkal kepadanya”.
Orang yang bertawakkal, bagaikan menempatkan dirinya ibarat sesuatu yang hanyut di sungai. Ke manapun sungai itu membawanya dia akan pasrah. Sikap pasrah seperti ini akan membersihkan segala macam endapan power struggle dalam diri. Akhirnya orang itu akan merasa tenang dengan jiwa yang lapang, karena semuanya diserahkan kepada Yang Maha Kuasa, la haula wa laa quwwah illaa billaah.
Para ahli haqiqah membagi tawakkal kepada beberapa tingkatan, seperti tawakkal orang awam dan tawakkal khawash. Orang-orang yang menjadikan tawakkal dengan penuh keyakinan sebagai bagian dari hidupnya, maka orang itu akan ditemani dengan keajaiban-keajaiban dalam hidup.
Terlepas dia seorang Nabi, Ibrahim AS, dikenal sebagai Nabi yang memiliki tawakkal paling kokoh. Dalam Al-Qur’an diceritakan, di depan gunung api yang dipersiapkan oleh Raja Namrud, Nabi Ibrahim tetap tenang sampai ia dilemparkan ke dalam lautan api, ia masih tetap tenang.
Sampai lolos dari amukan api ia masih tetap tenang. Ketenangan adalah ciri orang tawakkal. Rasa tawakkal sangat diharapkan untuk dilestarikan oleh para jamaah haji jika menginginkan langgengnya kemabruran. ■
]]> , Tawakkal berarti penyerahan diri secara total semua urusan hanya kepada Allah SWT. Tawakkal adalah realisasi keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Pengertian ini sesuai dengan Q.S. al-Ma’idah/5:23: “Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman”.
Suatu ketika Rasulullah SAW menerima beberapa tamu dari luar kota di Madinah. Salah seorang di antara tamunya ditanya, dimana kamu menambatkan untamu?
Sang pemuda menjawab, saya tidak menambatkannya karena saya sudah bertawakkal kepada Allah SWT. Lalu ia memohon Rasulullah SAW mendoakan agar untanya aman. Rasulullah SAW menegur pemuda itu dengan mengatakan, tambatkan dulu untanya, baru bertawakkal kepada Allah SWT.
Tawakkal tidak bisa diartikan kepasrahan secara passif, yang menyiratkan unsur kemalasan, keputusasaan, dan sikap minimalisme, tetapi kepasrahan secara aktif, sesuai kapasitas manusia sebagai hamba dan khalifah yang menuntut tanggung jawab.
Tidak bisa berdiam diri dengan pasif saat kita didera penyakit, tetapi kita harus berusaha mencari cara penyembuhan, sebagaimana diperintahkan Rasulullah SAW: “Berobatlah wahai hamba Allah, karena Allah menciptakan penyakit dan obatnya.” (HR al-Tirmidzi).
Jika kita sudah berobat dengan berbagai macam cara tetapi penyakitnya tetap berlangsung, baru kita tawakkal dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Sang Maha Penyembuh. Bersabar dari penyakit merupakan suatu hal yang terpuji, bahkan akan berfungsi sebagai pengampunan dosa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Demam satu hari menghapus dosa satu tahun.” (HR. Al-Qudha’i dari Ibnu Mas’ud).
Tawakkal disertai keikhlasan akan memberikan banyak keajaiban dalam hidup. Rasulullah SAW memberikan perumpamaan kehidupan orang-orang yang bertawakkal dengan kehidupan burung:
“Jikalau kamu bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang sesunguhnya, niscaya Allah memberi rezeki kepadamu, sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung yang keluar (dari sarangnya) pagi-pagi dengan perut lapar dan kembali pada sore hari dengan perut kenyang. Dan lenyaplah gunung-gunung penghalang dengan sebab do’amu”. (HR. Muhammad bin Nashar dari Muadz bin Jabal dan oleh Baihaqi dari Wuhaib al-Makki).
Dalam sebuah ayat juga menegaskan rezki bagi setiap makhluk hidup sudah ditentukan oleh Allah SWT dalam Q.S. Hud/: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud/11:6).
Tawakkal merupakan proses terakhir dalam sebuah rangkaian usaha manusia, sesuai dengan Q.S. Ali ‘Imran/3:159: “…maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun kepada mereka, dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad (ta’zim) maka bertawakkal-lah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertawakkal kepadanya”.
Orang yang bertawakkal, bagaikan menempatkan dirinya ibarat sesuatu yang hanyut di sungai. Ke manapun sungai itu membawanya dia akan pasrah. Sikap pasrah seperti ini akan membersihkan segala macam endapan power struggle dalam diri. Akhirnya orang itu akan merasa tenang dengan jiwa yang lapang, karena semuanya diserahkan kepada Yang Maha Kuasa, la haula wa laa quwwah illaa billaah.
Para ahli haqiqah membagi tawakkal kepada beberapa tingkatan, seperti tawakkal orang awam dan tawakkal khawash. Orang-orang yang menjadikan tawakkal dengan penuh keyakinan sebagai bagian dari hidupnya, maka orang itu akan ditemani dengan keajaiban-keajaiban dalam hidup.
Terlepas dia seorang Nabi, Ibrahim AS, dikenal sebagai Nabi yang memiliki tawakkal paling kokoh. Dalam Al-Qur’an diceritakan, di depan gunung api yang dipersiapkan oleh Raja Namrud, Nabi Ibrahim tetap tenang sampai ia dilemparkan ke dalam lautan api, ia masih tetap tenang.
Sampai lolos dari amukan api ia masih tetap tenang. Ketenangan adalah ciri orang tawakkal. Rasa tawakkal sangat diharapkan untuk dilestarikan oleh para jamaah haji jika menginginkan langgengnya kemabruran. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID