Jadi Solusi Atasi Koperasi Bermasalah Kemenkop UKM Dukung Dibentuknya OJK Dan LPS Khusus Koperasi –
7 min readKementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) menilai, perlu adanya semacam lembaga pengawas seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) layaknya di perbankan, untuk mengawasi koperasi.
Kehadiran lembaga pengawas dan lembaga simpanan tersebut, bisa dipercaya mampu memperbaiki serta menertibkan kinerja buruk beberapa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang bermasalah. Di mana mereka banyak disinyalir melakukan praktik layaknya perbankan.
Untuk itu, Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop UKM Ahmad Zabadi turut menyambut baik dibentuknya Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) oleh Komisi XI DPR , di mana dalam pembahasannya, juga menyangkut tentang perkoperasian. Bahkan secara khusus mengatur terkait KSP.
Diketahui, RUU PPSK ini dibahas dalam rangka membangun suatu ekosistem keuangan yang lebih yang lebih kokoh. Terdapat 12 sektor atau isu yang dibahas, termasuk salah satunya koperasi.
“Dalam rapat pembahasan kami bersama Komisi XI DPR, disebutkan dalam pengaturan RUU PPSK ini menempatkan koperasi dalam sistem keuangan formal atau lebih kita sebut dalam penguasaan OJK,” jelasnya dalam Webinar Hari Koperasi Tahun 2022 bertajuk Mewujudkan hadirnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk pengembangan Modernisasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) secara daring, Kamis (21/7).
Di dalam rumusan yang telah dituangkan, keseluruhan dari fungsi mulai dari hulu pembentukan sampai dengan di hilirnya seperti fungsi pengawasan dan pembubaran terhadap KSP menjadi kewenangan dari OJK.
“Namun dalam penjelasannya, kami menegaskan untuk menolak dan memberikan keberatan dengan rumusan yang disampaikan. Kami juga menjelaskan pandangan terhadap penolakan tersebut. Bahwa saat ini, sistem keuangan formal dalam kuasa OJK layaknya perbankan yang melayani pembiayaan bagi masyarakat. Sementara dari data secara empirik baru sekitar 19,8 juta dari 65 juta pelaku UMKM yang terakses ke pembiayaan perbankan,” sebutnya.
Terlebih lagi di antara angka tersebut, mayoritas justru disumbangkan atau dikontribusi yang diakselerasi dari program BPUM (Bantuan Produktif Usaha Mikro) yang disalurkan Kemenkop UKM melalui perbankan. Di mana hal ini menjadi bukti, bahwa masih sebenarnya relatif sangat sedikit sekali UMKM yang terakses dengan sistem perbankan.
“Itu pun disalurkan melalui dua bank yaitu BNI dan BRI, di mana UMKM ultra mikro mikro dan kecil yang belum memiliki rekening, akhirnya harus membuka rekening di bank, dan tercatat sebagai pelaku usaha, sehingga terasa pembiayaannya dengan sistem perbankan,” jelas Zabadi.
Secara empirik, juga dapat dilihat, bahwa 30 juta dari dari 65 juta pelaku usaha merupakan anggota koperasi yang sebagian besar ultra mikro, mikro dan kecil.
“Artinya secara empirik pula, maka akses pembiayaan yang dipastikan melalui koperasi masih jauh lebih besar dibandingkan dengan kontribusi perbankan dalam membiayai UMKM. Sehingga peran KSP begitu amat sangat menonjol dan sangat kuat sekali peranannya di dalam pembiayaan pada sektor-sektor UMKM,” tegasnya.
Zabadi menekankan, dalam RUU PPSK ini, KemenKopUKM juga merekomendasikan perlu adanya semacam lembaga OJK-nya koperasi, yang menjadi badan pengawas khusus independen koperasi.
“Kami tegaskan lembaga ini tidak di bawah KemenKopUKM, melainkan adalah suatu badan yang setara dengan OJK saat ini, tetapi khusus untuk koperasi,” ungkapnya.
Selain direkomendasikannya OJK khusus bagi koperasi, KemenKopUKM turut mendukung dalam RUU PPSK, disebutkan perlu juga dibentuknya LPS bagi simpanan anggota koperasi. Namun juga tidak bisa diintegrasikan dengan LPS yang ada saat ini, karena sekali lagi adanya perbedaan karakter antara perbankan dengan koperasi.
“Kehadiran LPS khusus bagi koperasi ini diharapkan bisa menjadi pilihan yang memberikan ruang-ruang fleksibilitas yang tinggi, tetap dengan mengedepankan aspek prudential (kehati-hatian) simpanan anggota koperasi, karena inilah saya kira yang menjadi satu isu penting,” tegas Zabadi.
Satu lagi yang menjadi catatan penting kata Zabadi, terkait dengan kepailitan yang menurut pandangannya, penempatan paillit kepada koperasi sangat tidak adil. Karena lembaga keuangan seperti perbankan maupun asuransi saja, tidak bisa dipailitkan selain oleh pemegang otoritas yakni, Bank Indonesia (BI), OJK atau Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Tidak seperti yang sekarang yang dialami koperasi, di mana pailit bisa diajukan bukan saja oleh anggota bahkan non anggota, seperti pihak ketiga yang menjadi mitra dari koperasi yang merasa dirugikan bisa mengajukan kepailitan yang hanya minimal diajukan oleh dua orang saja.
Ia menegaskan, ketidakadilan ini bisa terjadi secara berulang. Tentunya upaya tersebut bisa menimbulkan instabilitas bagi koperasi dan keberlangsungan koperasi di masa depan.
“Untuk itu kami meminta soal kepailitan ini, agar koperasi equal perlakuannya seperti sistem keuangan perbankan, di mana juga tidak bisa dipailitkan kecuali oleh pemegang otoritas,” tegas Zabadi.
Ia berharap, RUU PPSK ini mampu menciptakan kesetaraan bagi koperasi sebagai sebuah entitas bisnis antara KSP dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya. “Karena bagaimanapun, koperasi memiliki manfaaf yang sangat besar bagi para pelaku usaha di Tanah Air,” pungkasnya.
Di kesempatan yang sama, Presiden Direktur Koperasi Benteng Mikro Indonesia (BMI) Kamaruddin Batubara mengatakan, pihaknya mendukung adanya lembaga pengawas dan penjamin independen koperasi seperti halnya LPS khusus koperasi.
“Kami positif menyambut dan mendukung adanya RUU PPSK ini. Kita juga perlu merevisi RUU Perkoperasian yang saat ini tengah diperjuangkan oleh KemenKopUKM. Perlu ditegaskan bahwa koperasi sangat berbeda dengan perbankan,” ucapnya.
Kamaruddin menegaskan, perbankan mensyaratkan pinjaman kepada pelaku usaha dengan menggunakan angunan serta minimal usaha eksisting selama dua tahun.
Sementara koperasi, tidak memberikan syarat bahkan agunan kepada anggota dalam melakukan pinjaman. Di BMI sendiri sambung dia, memberikan pinjaman hingga Rp 200 juta tanpa agunan. Ketika anggota belum mampu membayar, tidak perlu juga dilakukan penyitaan. Justru pendekatan berbeda dilakukan oleh koperasi.
“Di sinilah koperasi hadir di antara anggota yang unbankable, kalau mereka bankable ya lebih baik ke bank,” tegasnya.
Ia berharap, kehadiran RUU PPSK maupun RUU Perkoperasian ini bisa mengembalikan KSP kepada rohnya. “Bukan lagi KSP justru dipenuhi dengan kecurigaan,” pungkasnya. ■
]]> , Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) menilai, perlu adanya semacam lembaga pengawas seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) layaknya di perbankan, untuk mengawasi koperasi.
Kehadiran lembaga pengawas dan lembaga simpanan tersebut, bisa dipercaya mampu memperbaiki serta menertibkan kinerja buruk beberapa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang bermasalah. Di mana mereka banyak disinyalir melakukan praktik layaknya perbankan.
Untuk itu, Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop UKM Ahmad Zabadi turut menyambut baik dibentuknya Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) oleh Komisi XI DPR , di mana dalam pembahasannya, juga menyangkut tentang perkoperasian. Bahkan secara khusus mengatur terkait KSP.
Diketahui, RUU PPSK ini dibahas dalam rangka membangun suatu ekosistem keuangan yang lebih yang lebih kokoh. Terdapat 12 sektor atau isu yang dibahas, termasuk salah satunya koperasi.
“Dalam rapat pembahasan kami bersama Komisi XI DPR, disebutkan dalam pengaturan RUU PPSK ini menempatkan koperasi dalam sistem keuangan formal atau lebih kita sebut dalam penguasaan OJK,” jelasnya dalam Webinar Hari Koperasi Tahun 2022 bertajuk Mewujudkan hadirnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk pengembangan Modernisasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) secara daring, Kamis (21/7).
Di dalam rumusan yang telah dituangkan, keseluruhan dari fungsi mulai dari hulu pembentukan sampai dengan di hilirnya seperti fungsi pengawasan dan pembubaran terhadap KSP menjadi kewenangan dari OJK.
“Namun dalam penjelasannya, kami menegaskan untuk menolak dan memberikan keberatan dengan rumusan yang disampaikan. Kami juga menjelaskan pandangan terhadap penolakan tersebut. Bahwa saat ini, sistem keuangan formal dalam kuasa OJK layaknya perbankan yang melayani pembiayaan bagi masyarakat. Sementara dari data secara empirik baru sekitar 19,8 juta dari 65 juta pelaku UMKM yang terakses ke pembiayaan perbankan,” sebutnya.
Terlebih lagi di antara angka tersebut, mayoritas justru disumbangkan atau dikontribusi yang diakselerasi dari program BPUM (Bantuan Produktif Usaha Mikro) yang disalurkan Kemenkop UKM melalui perbankan. Di mana hal ini menjadi bukti, bahwa masih sebenarnya relatif sangat sedikit sekali UMKM yang terakses dengan sistem perbankan.
“Itu pun disalurkan melalui dua bank yaitu BNI dan BRI, di mana UMKM ultra mikro mikro dan kecil yang belum memiliki rekening, akhirnya harus membuka rekening di bank, dan tercatat sebagai pelaku usaha, sehingga terasa pembiayaannya dengan sistem perbankan,” jelas Zabadi.
Secara empirik, juga dapat dilihat, bahwa 30 juta dari dari 65 juta pelaku usaha merupakan anggota koperasi yang sebagian besar ultra mikro, mikro dan kecil.
“Artinya secara empirik pula, maka akses pembiayaan yang dipastikan melalui koperasi masih jauh lebih besar dibandingkan dengan kontribusi perbankan dalam membiayai UMKM. Sehingga peran KSP begitu amat sangat menonjol dan sangat kuat sekali peranannya di dalam pembiayaan pada sektor-sektor UMKM,” tegasnya.
Zabadi menekankan, dalam RUU PPSK ini, KemenKopUKM juga merekomendasikan perlu adanya semacam lembaga OJK-nya koperasi, yang menjadi badan pengawas khusus independen koperasi.
“Kami tegaskan lembaga ini tidak di bawah KemenKopUKM, melainkan adalah suatu badan yang setara dengan OJK saat ini, tetapi khusus untuk koperasi,” ungkapnya.
Selain direkomendasikannya OJK khusus bagi koperasi, KemenKopUKM turut mendukung dalam RUU PPSK, disebutkan perlu juga dibentuknya LPS bagi simpanan anggota koperasi. Namun juga tidak bisa diintegrasikan dengan LPS yang ada saat ini, karena sekali lagi adanya perbedaan karakter antara perbankan dengan koperasi.
“Kehadiran LPS khusus bagi koperasi ini diharapkan bisa menjadi pilihan yang memberikan ruang-ruang fleksibilitas yang tinggi, tetap dengan mengedepankan aspek prudential (kehati-hatian) simpanan anggota koperasi, karena inilah saya kira yang menjadi satu isu penting,” tegas Zabadi.
Satu lagi yang menjadi catatan penting kata Zabadi, terkait dengan kepailitan yang menurut pandangannya, penempatan paillit kepada koperasi sangat tidak adil. Karena lembaga keuangan seperti perbankan maupun asuransi saja, tidak bisa dipailitkan selain oleh pemegang otoritas yakni, Bank Indonesia (BI), OJK atau Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Tidak seperti yang sekarang yang dialami koperasi, di mana pailit bisa diajukan bukan saja oleh anggota bahkan non anggota, seperti pihak ketiga yang menjadi mitra dari koperasi yang merasa dirugikan bisa mengajukan kepailitan yang hanya minimal diajukan oleh dua orang saja.
Ia menegaskan, ketidakadilan ini bisa terjadi secara berulang. Tentunya upaya tersebut bisa menimbulkan instabilitas bagi koperasi dan keberlangsungan koperasi di masa depan.
“Untuk itu kami meminta soal kepailitan ini, agar koperasi equal perlakuannya seperti sistem keuangan perbankan, di mana juga tidak bisa dipailitkan kecuali oleh pemegang otoritas,” tegas Zabadi.
Ia berharap, RUU PPSK ini mampu menciptakan kesetaraan bagi koperasi sebagai sebuah entitas bisnis antara KSP dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya. “Karena bagaimanapun, koperasi memiliki manfaaf yang sangat besar bagi para pelaku usaha di Tanah Air,” pungkasnya.
Di kesempatan yang sama, Presiden Direktur Koperasi Benteng Mikro Indonesia (BMI) Kamaruddin Batubara mengatakan, pihaknya mendukung adanya lembaga pengawas dan penjamin independen koperasi seperti halnya LPS khusus koperasi.
“Kami positif menyambut dan mendukung adanya RUU PPSK ini. Kita juga perlu merevisi RUU Perkoperasian yang saat ini tengah diperjuangkan oleh KemenKopUKM. Perlu ditegaskan bahwa koperasi sangat berbeda dengan perbankan,” ucapnya.
Kamaruddin menegaskan, perbankan mensyaratkan pinjaman kepada pelaku usaha dengan menggunakan angunan serta minimal usaha eksisting selama dua tahun.
Sementara koperasi, tidak memberikan syarat bahkan agunan kepada anggota dalam melakukan pinjaman. Di BMI sendiri sambung dia, memberikan pinjaman hingga Rp 200 juta tanpa agunan. Ketika anggota belum mampu membayar, tidak perlu juga dilakukan penyitaan. Justru pendekatan berbeda dilakukan oleh koperasi.
“Di sinilah koperasi hadir di antara anggota yang unbankable, kalau mereka bankable ya lebih baik ke bank,” tegasnya.
Ia berharap, kehadiran RUU PPSK maupun RUU Perkoperasian ini bisa mengembalikan KSP kepada rohnya. “Bukan lagi KSP justru dipenuhi dengan kecurigaan,” pungkasnya. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID