Thailand Umumkan Kasus Pertama Cacar Monyet Di Phuket, Pasiennya Warga Nigeria, Sekarang Kabur –
4 min readThailand melaporkan kasus pertama cacar monyet alias monkeypox di negaranya, yang melibatkan seorang warga Nigeria berusia 27 tahun, akhir pekan lalu.
Kasus itu terdeteksi di sebuah resor ternama di Phuket, setelah pasien mengunjungi sebuah rumah sakit swasta dengan gejala mirip cacar monyet.
Otoritas Kesehatan setempat melaporkan, rumah sakit mengambil sampel darah dan swab dari warga Nigeria itu pada Sabtu (16/7). Hasil positifnya, keluar pada Senin (18/7).
Namun, begitu diberitahu positif cacar monyet, pria tersebut menghilang pada Senin (18/7).
“Pada Senin (18/7) pukul 6 sore, kami menerima hasil tes laboratorium pertama dari Chulalongkorn University. Setelah mempelajari hasilnya, pihak rumah sakit menelepon pasien untuk perawatan medis selanjutnya. Tapi, pasien tersebut menolak dan mematikan HP,” jelas Kepala Phuket Public Health Office, Dr. Koosak Kookiatkul dalam konferensi pers, seperti dikutip Channel News Asia, Jumat (22/7).
Pasien tersebut diketahui memasuki wilayah Thailand pada 21 Oktober 2021. Dia tinggal di sebuah kondominium di wilayah Patong, Phuket sejak November tahun lalu.
Selama periode itu, pasien dilaporkan kerap mengunjungi berbagai tempat hiburan.
Setelah mengunjungi rumah sakit pada 16 Juli, pasien disarankan menjalani karantina di apartemen. Namun, rekaman CCTV menunjukkan, dia pergi meninggalkan penginapan tersebut pada 18 Juli. Begitu tahu dirinya positif cacar monyet.
Pada hari yang sama, pasien itu check in di sebuah hotel pada 19 Juli. Dia berada di tempat itu. Namun, tidak membiarkan staf membersihkan kamarnya.
“Pada jam 9 malam, dia meletakkan kunci kamarnya di resepsionis dan pergi,” ungkap Dr. Koosak.
Terkait hal ini, Direktur Jenderal Departemen Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand Dr. Opas Karnkawinpong menjelaskan, pasien Nigeria ini terinfeksi oleh varian Afrika Barat.
Pejabat kesehatan dan otoritas setempat kemudian melacak keberadaan pasien untuk memberinya perawatan medis, dan mengendalikan penyebaran penyakit sejak Senin (18/7). Di samping mencari kasus aktif dan pelacakan kontak.
“Berdasarkan investigasi penyakit yang dilakukan dengan dua kontak berisiko tinggi, teman pasien yang tidak menunjukkan gejala apa pun. Tidak terdeteksi ada cacar monyet,” kata Dr. Karnkawinpong dalam konferensi pers di Kementerian Kesehatan Masyarakat, Jumat (22/7).
Meski begitu, kontak erat harus dipantau atau dikarantina selama 21 hari. Tracing harus lebih banyak dilakukan di area berisiko seperti tempat hiburan yang pernah mereka kunjungi.
“Tim investigasi telah mendisinfeksi kamar pasien,” tambahnya.
Sejauh ini, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, monkeypox terdiri dari dua varian. Yakni varian Afrika Barat dan Kongo (Afrika Tengah).
“Varian Kongo tampaknya lebih sering mengakibatkan penyakit bergejala parah, dengan rasio kematian kasus (CFR) yang dilaporkan mencapai angka 10 persen,” kata WHO melalui situsnya.
Sementara varian Afrika Barat, cenderung dikaitkan dengan CFR yang lebih rendah. Secara keseluruhan, di wilayah Afrika, angkanya ada di sekitar 1 persen pada populasi yang umumnya berusia muda.
“Sejak 2017, kasus kematian orang dengan cacar monyet di Afrika Barat, banyak dikaitkan dengan usia muda atau infeksi HIV yang tidak diobati,” jelas Dr. Koosak. ■
]]> , Thailand melaporkan kasus pertama cacar monyet alias monkeypox di negaranya, yang melibatkan seorang warga Nigeria berusia 27 tahun, akhir pekan lalu.
Kasus itu terdeteksi di sebuah resor ternama di Phuket, setelah pasien mengunjungi sebuah rumah sakit swasta dengan gejala mirip cacar monyet.
Otoritas Kesehatan setempat melaporkan, rumah sakit mengambil sampel darah dan swab dari warga Nigeria itu pada Sabtu (16/7). Hasil positifnya, keluar pada Senin (18/7).
Namun, begitu diberitahu positif cacar monyet, pria tersebut menghilang pada Senin (18/7).
“Pada Senin (18/7) pukul 6 sore, kami menerima hasil tes laboratorium pertama dari Chulalongkorn University. Setelah mempelajari hasilnya, pihak rumah sakit menelepon pasien untuk perawatan medis selanjutnya. Tapi, pasien tersebut menolak dan mematikan HP,” jelas Kepala Phuket Public Health Office, Dr. Koosak Kookiatkul dalam konferensi pers, seperti dikutip Channel News Asia, Jumat (22/7).
Pasien tersebut diketahui memasuki wilayah Thailand pada 21 Oktober 2021. Dia tinggal di sebuah kondominium di wilayah Patong, Phuket sejak November tahun lalu.
Selama periode itu, pasien dilaporkan kerap mengunjungi berbagai tempat hiburan.
Setelah mengunjungi rumah sakit pada 16 Juli, pasien disarankan menjalani karantina di apartemen. Namun, rekaman CCTV menunjukkan, dia pergi meninggalkan penginapan tersebut pada 18 Juli. Begitu tahu dirinya positif cacar monyet.
Pada hari yang sama, pasien itu check in di sebuah hotel pada 19 Juli. Dia berada di tempat itu. Namun, tidak membiarkan staf membersihkan kamarnya.
“Pada jam 9 malam, dia meletakkan kunci kamarnya di resepsionis dan pergi,” ungkap Dr. Koosak.
Terkait hal ini, Direktur Jenderal Departemen Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand Dr. Opas Karnkawinpong menjelaskan, pasien Nigeria ini terinfeksi oleh varian Afrika Barat.
Pejabat kesehatan dan otoritas setempat kemudian melacak keberadaan pasien untuk memberinya perawatan medis, dan mengendalikan penyebaran penyakit sejak Senin (18/7). Di samping mencari kasus aktif dan pelacakan kontak.
“Berdasarkan investigasi penyakit yang dilakukan dengan dua kontak berisiko tinggi, teman pasien yang tidak menunjukkan gejala apa pun. Tidak terdeteksi ada cacar monyet,” kata Dr. Karnkawinpong dalam konferensi pers di Kementerian Kesehatan Masyarakat, Jumat (22/7).
Meski begitu, kontak erat harus dipantau atau dikarantina selama 21 hari. Tracing harus lebih banyak dilakukan di area berisiko seperti tempat hiburan yang pernah mereka kunjungi.
“Tim investigasi telah mendisinfeksi kamar pasien,” tambahnya.
Sejauh ini, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, monkeypox terdiri dari dua varian. Yakni varian Afrika Barat dan Kongo (Afrika Tengah).
“Varian Kongo tampaknya lebih sering mengakibatkan penyakit bergejala parah, dengan rasio kematian kasus (CFR) yang dilaporkan mencapai angka 10 persen,” kata WHO melalui situsnya.
Sementara varian Afrika Barat, cenderung dikaitkan dengan CFR yang lebih rendah. Secara keseluruhan, di wilayah Afrika, angkanya ada di sekitar 1 persen pada populasi yang umumnya berusia muda.
“Sejak 2017, kasus kematian orang dengan cacar monyet di Afrika Barat, banyak dikaitkan dengan usia muda atau infeksi HIV yang tidak diobati,” jelas Dr. Koosak. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID