Waspadai Pelecehan Seksual Di Media Sosial –
4 min readPelecehan seksual tak hanya terjadi di dunia nyata tapi juga di media sosial. Bentuknya juga bermacam-macam. Aktivis Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) Made Dwi Adnjani, mengatakan, kekerasan terjadi akibat faktor kultural dan struktural.
“Di lingkungan yang patriarki, korban yang buka suara justru berpotensi menjadi pihak yang disalahkan,” kata Made Dwi dalam webinar, Makin Cakap Digital dari Makassar, Sulawesi Selatan, dikutip Sabtu (23/7).
Pelecehan seksual banyak sekali bentuknya. Mulai dari perilaku menggoda, pelanggaran seksual, pelecehan gender, pemaksaan seksual, dan penyuapan seksual.
“Ragam kekerasan berbasis gender online (KBGO) yakni cyber hacking, stalking, cyber harassment, cyber recruitment, impersonation, malicious distribution content, revenge porn, sexting,” paparnya.
Certified Trainer BNSP Joddy Caprinata menambahkan, di media sosial, setiap individu bisa bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai kultur berbeda. “Akan ada standar baru tentang etika di dunia maya,” katanya.
Terkait netiket, ada kompetensi yang perlu dimiliki, yakni mengakses informasi, menyeleksi dan menganalisis informasi, memverifikasi pesan, membentengi diri, memproduksi dan distribusi konten, serta membangun relasi dan kolaborasi data/informasi.
“Minimnya pemahaman etika, privasi yang tidak terbatas, dan literasi digital yang terbatas menjadi penyebab terjadinya pelecehan seksual di era digital,” kata Joddy.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pejuang Republik Indonesia Husnul Hidayah menuturkan, ada beberapa langkah preventif yang bisa dilakukan untuk hindari Kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Di antaranya, periksa pengaturan privasi, pikirkan berkali-kali sebelum kirim foto, blokir pesan dari akun mengganggu, dan hindari konten berkaitan dengan pornografi.
“Jika menjadi korban, tindakan yang bisa dilakukan yaitu minta pelaku pelecehan seksual berhenti, simpan barang bukti, putuskan komunikasi dengan pelaku, lakukan konsultasi psikologis, laporkan pelaku ke platform digital terkait, dan saat melapor ke jalur hukum petakan risiko,” pungkas Husnul.
Dengan hadirnya program Gerakan Nasional Literasi Digital oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika diharapkan dapat mendorong masyarakat menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif.
Kegiatan program diskusi ini ditujukan bagi para komunitas di wilayah Sulawesi dan sekitarnya yang tidak hanya bertujuan untuk menciptakan Komunitas Cerdas, tetapi juga membantu mempersiapkan sumber daya manusia yang lebih unggul dalam memanfaatkan internet secara positif, kritis, dan kreatif di era industri 4.0.
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi juga terus menjalankan program Indonesia Makin Cakap Digital melalui kegiatan-kegiatan literasi digital yang disesuaikan pada kebutuhan masyarakat.
Untuk mengikuti kegiatan yang ada, masyarakat dapat mengakses info.literasidigital.id atau media sosial @Kemenkominfo dan @Siberkreasi. ■
]]> , Pelecehan seksual tak hanya terjadi di dunia nyata tapi juga di media sosial. Bentuknya juga bermacam-macam. Aktivis Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) Made Dwi Adnjani, mengatakan, kekerasan terjadi akibat faktor kultural dan struktural.
“Di lingkungan yang patriarki, korban yang buka suara justru berpotensi menjadi pihak yang disalahkan,” kata Made Dwi dalam webinar, Makin Cakap Digital dari Makassar, Sulawesi Selatan, dikutip Sabtu (23/7).
Pelecehan seksual banyak sekali bentuknya. Mulai dari perilaku menggoda, pelanggaran seksual, pelecehan gender, pemaksaan seksual, dan penyuapan seksual.
“Ragam kekerasan berbasis gender online (KBGO) yakni cyber hacking, stalking, cyber harassment, cyber recruitment, impersonation, malicious distribution content, revenge porn, sexting,” paparnya.
Certified Trainer BNSP Joddy Caprinata menambahkan, di media sosial, setiap individu bisa bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai kultur berbeda. “Akan ada standar baru tentang etika di dunia maya,” katanya.
Terkait netiket, ada kompetensi yang perlu dimiliki, yakni mengakses informasi, menyeleksi dan menganalisis informasi, memverifikasi pesan, membentengi diri, memproduksi dan distribusi konten, serta membangun relasi dan kolaborasi data/informasi.
“Minimnya pemahaman etika, privasi yang tidak terbatas, dan literasi digital yang terbatas menjadi penyebab terjadinya pelecehan seksual di era digital,” kata Joddy.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pejuang Republik Indonesia Husnul Hidayah menuturkan, ada beberapa langkah preventif yang bisa dilakukan untuk hindari Kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Di antaranya, periksa pengaturan privasi, pikirkan berkali-kali sebelum kirim foto, blokir pesan dari akun mengganggu, dan hindari konten berkaitan dengan pornografi.
“Jika menjadi korban, tindakan yang bisa dilakukan yaitu minta pelaku pelecehan seksual berhenti, simpan barang bukti, putuskan komunikasi dengan pelaku, lakukan konsultasi psikologis, laporkan pelaku ke platform digital terkait, dan saat melapor ke jalur hukum petakan risiko,” pungkas Husnul.
Dengan hadirnya program Gerakan Nasional Literasi Digital oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika diharapkan dapat mendorong masyarakat menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif.
Kegiatan program diskusi ini ditujukan bagi para komunitas di wilayah Sulawesi dan sekitarnya yang tidak hanya bertujuan untuk menciptakan Komunitas Cerdas, tetapi juga membantu mempersiapkan sumber daya manusia yang lebih unggul dalam memanfaatkan internet secara positif, kritis, dan kreatif di era industri 4.0.
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi juga terus menjalankan program Indonesia Makin Cakap Digital melalui kegiatan-kegiatan literasi digital yang disesuaikan pada kebutuhan masyarakat.
Untuk mengikuti kegiatan yang ada, masyarakat dapat mengakses info.literasidigital.id atau media sosial @Kemenkominfo dan @Siberkreasi. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID